Museum Radya Pustaka [1]
Museum.
Apa
pendapat kita ketika mendengar kata museum?
Banyak yang berpendapat bahwa museum itu
tidak lebih keren, tidak lebih terkenal dan tidak lebih asyik buat nongkrong
daripada mall. Memang sih nggak salah, mau nongkrong di mall, mau nongkrong di
cafe, di pinggir jalan, nongkrong di poskamling, atau nongkrong di rumah teman
sambil absen indomie gratis, itu sih pilihan pribadi. Aliasnya dipanggil hak
prerogatif yang nggak bisa diganggu gugat.
Eits, tapi satu jangan terlalu suka
nongkrong di toilet kecuali karena keadaan mendesak. Ingat, bukankah toilet itu
tempat nongkrongnya setan,,,, hehe, meskipun nggak jarang sih inspirasi itu
datang dari kamar mandi. J
Kembali ke museum. Saat ini museum menjadi
salah satu obyek wisata yang tidak begitu populer bila dibandingkan dengan
obyek wisata lain. Ya, seperti yang lagi nge hits saat ini. Anak-anak muda
berbondong-bondong mendaki gunung tapi jiwa mereka sesungguhnya tidak mencintai
alam. Membuat api unggun tapi tidak memastikan api itu benar-benar mati saat
ditinggal pergi, merokok dan membuang putung rokok sembarangan di gunung,
hingga akhirnya terjadi kebakaran hutan.
Whoiiiii, sadar whoiii, itu keindahan alam
di gunung untuk dijaga dan dilestarikan bukan cuman buat selfie-selfie pamer
photo di sosmed, lalu pakai tagar #mytripmyadventure. Sah-sah saja sebenarnya
sih, tapi seorang petualang sejati tidak akan melakukan hal-hal sebodoh itu
hingga merusak keindahan alam yang ada. Kita itu wajib menjaga keindahan alam
dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem. Kalau bukan kita lalu siapa?
Mereka suruh jaga diri sendiri? Gimana caranya coba?
Misal mereka bisa jaga keindahannya sendiri
dan melakukan perlawanan secara frontal kita tetep saja kalah. Bayangkan,
ketika sebuah pohon besar di hutan akan ditebang lalu tiba-tiba mereka bergerak
menyerbu si penebang. Apa nggak ngeri tuh, berasa kayak di film-film kan
(red-Trilogi Lord of The Ring). Misal
iya tentu tidak perlu dibentuk lembaga-lembaga yang menjaga kelestarian alam
dan lingkungan hidup.
Kembali ke Museum Radya Pustaka. Museum
sebenarnya tidak kalah asyik dengan wisata alam karena tempat ini, penuh dengan
edukasi dan ilmu pengetahuan yang membuat kita juga bisa mengatakan My Life My Adventure atau sekedar
berkata Indonesia itu Indah. Karena dari museum juga bisa kita lihat keindahan
Indonesia dari sudut pandang lain, dari kacamata sejarah maupun kekayaan
khasanah budaya bangsa.
Ngomong-ngomong soal museum nih, beberapa
waktu lalu saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke salah satu obyek wisata
edukasi ini. Sebenarnya sudah lama berencana namun belum juga terwujud. Baru
beberapa waktu yang lalu.
Saya menyempatkan diri berkunjung ke salah
satu museum di Kota Bengawan. Museum Radya Pustaka tepatnya. Di sini terdapat
banyak koleksi yang bisa mengajak kita kembali ke masa lalu, menyelami budaya
dan sejarah di Kota Solo khususnya dan budaya Indonesia pada umumnya. Kebetulan
terdapat beberapa koleksi yang hanya dipamerkan di Bulan Suro dalam rangkaian
acara Suro Bulan Budaya. Dan kebetulan saya bisa melihat koleksi-koleksi
tersebut. Beberapa Tosan Aji yang biasanya tersimpan, kemarin dapat saya lihat
berjejer dengan pusaka-pusaka yang lain.
Koleksi Radya Pustaka
Kalau belum sempat berkunjung ke Museum
Radya Pustaka, di sini saya ingin berbagi beberapa oleh-oleh sewaktu saya
berkunjung ke Museum Radya Pustaka kemarin.
Di ruang utama museum terdapat sebuah
koleksi yang menjadi ikon tempat ini. Disebut Kyai Rajamala. Eits ini bukan
seorang pemuka agama atau apa, tapi merupakan sebuah benda yang jadi maskot
sebuah kapal ekspedisi kerajaan Majapahit. Kapal yang memiliki ukuran 70m x 7m
ini dulunya digunakan oleh anggota kerajaan untuk mengarungi Sungai Bengawan
Solo dan ekspedisi lainnya. Dan inilah salah satu bentuk peninggalan budaya
maritim Kota Solo yang telah tumbuh sejak dulu.
<<pict. Kyai rajamala>>
Memasuki ruangan selanjutnya kita dapat
melihat beberapa koleksi topi yang digunakan di Keraton Kasunanan Surakarta
sejak zaman kolonial hingga saat ini, yang menjadi lambang kekayaan khasanah
budaya di Kota Solo. Kuluk atau penutup kepala yang digunakan pun juga
berbeda-beda untuk masing-masing upacara, seperti upacara keagamaan, upacara
kenegaraan, atau upacara penobatan raja-raja terdahulu. Selain fungsi umum
sebagai penutup kepala, kuluk ini juga menggambarkan status sosial seseorang.
Seperti, kuluk seorang pemuka agama berbeda dengan kuluk seorang anggota
militer kerajaan. Kuluk seorang penghulu berbeda dengan kuluk seorang raja. Ini
nih beberapa bentuk kuluk yang dapat saya abadikan dalam kamera saya.
Memasuki ruangan selanjutnya kita akan
dibawa ke sebuah peradaban yang bercita rasa seni yang tinggi. Iya, beberapa
koleksi kerajinan gerabah dan porselin di jaman kerajaan hingga yang terbaru
adalah yang dibuat ketika Raja Paku Buwono IX mangkat tahun 2007 kemarin. Bahkan
dalam koleksi ini terdapat beberapa cindera mata dari pejabat-pejabat luar
negeri. Salah satunya sebuah kotak musik yang dihiasi bunga-bunga asli dan
beberapa ekor replika burung dari Napoleon Bonaparte untuk Raja PB .........
(keren nggak tuh?).
Serasa tidak ingin berhenti untuk suatu
peninggalan, saat memasuki ruangan selanjutnya kita akan disuguhi warisan
budaya yang begitu kental. Yang sampai saat ini masih sering dipergunakan dan
dinikmati oleh semua orang. Beberapa lembar kain batik dibentangkan berundak.
Kain batik dengan motif yang menjadi pakem batik hingga saat ini. Tentu saja,
motif-motif kain batik tersebut memiliki makna serta arti yang berbeda-beda.
Di samping bentangan kain-kain batik kita
akan disuguhi sebuah koleksi yang akan membuat kita merasa sedang berdiri di
tengah butik. Ya, terdapat beberapa manequine yang mengenakan pakaian khas yang
disebut beskap. Merupakan salah satu bukti bahwa sejak dahulu hingga sekarang
karya fashion ini tidak pernah lekang dimakan waktu. Dari sini kita dapat
belajar tentang perbedaan beberapa jenis beskap yang sering kita lihat saat
ini.
Beskap Krowok Kasunanan terdapat krowokan di belakang sebagai tempat
keris. Kancing baju tangkepan ke
kiri. Bersabuk, epek, timang beserta lerepnya, berkain (nyamping), berkeris (dhuwung),
dan berselop (canela). Busana ini
dipakai oleh para Putra, Sentana Dalem serta
Bupati Riya Inggil yang bergelar
KRHT.
Beskap Krowok Mangkunegaran, hampir sama
dengan Beskap Kasunanan namun terdapat krah pada leher, blangkon berkuncung tidak
ber-mondhol. Bersabuk lengkap dengan epek, timang beserta lerepnya berkain (nyampang), berkeris dan berselop.
Beskap Atela, terdapat kancing baju (benik) di tengah dari leher ke bawah. Blangkon ber-mondhol cekok, bersabuk, epek,
timang beserta lerepnya, berkain
(nyamping), berkeris, dan berselop.
Busana ini dikenakan oleh abdi dalem
jajar, lurah, mantri, panewu, bupati anom, bupati, dan santana panji serta riya
ngandhap.
Ada juga model Takwa. Busana ini serupa
beskap namun bagian bawah panjang dan runcing. Blangkon tidak berkuncung.
Bersabuk lengkap dengan epek, timang beserta lerepnya, berkain (nyamping),
berkeris dan berselop. Pakaian jenis ini hanya dipakai oleh raja.
Sikepan. Memiliki ciri khas kancing baju
ada di kanan dan kiri tidak dikancingkan. Blangkon
tidak berkuncung, mondholnya jebehan, bersabuk lengkap dengan epek, timang berselop, lerepnya
berkain (nyamping), berkeris (dhuwung), dan berselop. Busana jenis ini
dipakai oleh santana dalem riya nginggil,
pangeran wayah serta pangeran putra
saat pisowanan (menghadap raja di
keraton).
Beskap Landung merupakan busana yang
dipakai untuk harian, warna selain hitam, tanpa memamai keris (dhuwung), berstagen, berkain (nyamping),
dan berselop (Canela).
Bukan hanya sebatas koleksi yang sudah saya
sebutkan di atas. Di Museum Radya Pustaka masih memiliki banyak koleksi yang
patut ditengok. Radya Pustaka [2].
Museum mungkin terkesan sepi, misterius dan
mungkin angker. Namun, akan lebih sepi ketika kita tidak mau berkunjung ke
sana, lebih misterius dan lebih angker ketika kita tidak tahu betapa indahnya
Indonesia dikemas dalam sebuah bangunan yang bernama “Museum” dan dilihat dari
sudut pandang berbeda. Jadi,,, #AyoKeMuseum./lik/
Komentar
Posting Komentar