Cerita Motivasi - Belajar dari Mereka
![]() |
Penjual Wedang Ronde |
Suatu sore sepulang
dari mengajar les, aku sengaja memacu kencang motorku menuju salah satu tempat
yang sangat terkenal di Kota Bengawan ini, Bandara Internasional Adi Soemarmo.
Bukan untuk ikut nongkrong-nongkrong di pinggir jalan melihat pesawat yang
tinggal landas, atau menikmati suasana petang bersama dengan teman kencan atau
pacar seperti yang kebanyakan dilakukan oleh orang-orang di sekitar bandara.
Melainkan dengan sengaja aku ke sana untuk membeli wedang ronde kesukaan ibuku. Sengaja aku ingin membelikan sedikit
oleh-oleh untuk beliau. Karena aku sangat senang ketika melihat beliau
tersenyum sepulang aku kerja. Tidak perduli karena alasan apa beliau tersenyum
namun, entah karena aku atau yang lainnya, bagiku senyum itu sudah cukup. Meski
tidak ada nasi, atau tidak masak sekalipun itu tidak penting. Melihat senyum
beliau itu sudah membuatku puas.
Kembali lagi
ke wedang ronde, minuman khas yang
sangat terkenal di sekitaran Solo dan Jogja ini memang tidak begitu populer
seperti minuman-minuman lain seperti jus buah, soft drink, atau minuman dalam kemasan lainnya yang banyak
digandrungi anak-anak muda. Jika dibandingkan dengan minuman kemasan saat ini
pun juga kalah jauh. Dari segi penampilan, minuman ini hanya di tempatkan dalam
mangkuk kecil, jika ingin meminumnya di tempat atau dibungkus plastik jika
ingin dibawa pulang. Tidak berkelas, begitu orang menyebutnya mungkin. Namun,
inilah minuman yang perlu dilestarikan. Khasiatnya pun juga tidak diragukan
lagi selain untuk teman santai, minuman ini juga dapat menghangatkan badan.
Aku menyusuri
jalan selatan bandara agak pelan, dari timur ke barat. Lalu dari barat aku
kembali lagi ke timur. Hanya satu gerobak penjual wedang ronde yang mangkal di sana. Lebih banyak penjual
makanan-makanan ringan seperti cakue,
somay dan sejenisnya. Ku parkir motorku di samping gerobak wedang ronde itu.
Ke mana penjualnya? Gumamku dalam hati.
Aku mulai clingak-clinguk mencarinya.
Bukan karena buru-buru, atau apa. Aku sudah melaksanakan sholat maghrib di tempatku
mengajarles. Jadi tidak ada alas an bagiku untuk buru-buru hanya saja rasa
ingin tahu terus menggelayuti pikiranku. Di dekat gerobak itu kulihat seorang pria
dan wanita paruh baya yang menikmati
suasana petang ba’da maghrib sambil melihat lampu-lampu tower di kejauhan yang
mulai setia menemani malam. Suami istri mungkin atau hanya teman kencan aku tak
perduli. Bukan bermaksud mengganggu mereka atau iri karena mereka
bercakap-cakap mesra.
“Permisi, pak. Yang jualan ke mana ya?”
“Lagi Sholat mbak, tunggu aja dulu.”
“Mm, iya pak, makasih.”
Tanpa diaba-aba
ku alihkan pandanganku ke seberang jalan. Subhanallah,
andaikan semua penjual di sini seperti bapak itu. Bersujud pada-Mu di manapun
berada. Karena sesungguhnya seluruh bumi-Mu adalah masjid bagi hamba-hamba-Mu
Ya Rabb. Kulihat bapak penjual wedang
ronde itu sedang berdoa di bawah pohon beralaskan selembar Koran dan
selembar sajadah yang mungkin sengaja beliau bawa dari rumah. Kutarik nafas
panjang sambil berharap. Semoga suatu
hari kutemui masa yang indah yakni semua pedagang di tepi jalan ini
melaksanakan sholat maghrib berjamaah ketika mendengar seruan-Nya. Aamiin…
Bapak itu
melemparkan senyum ringan padaku, kubalas dengan senyuman ringan pula. Kulihat
tangannya cekatan dengan segera menyiapkan dua mangkuk wedang ronde untuk sepasang pria dan wanita yang ternyata juga
menunggu dibuatkan wedang ronde.
Sungguh inilah salah satu tanda kuasa Allah SWT, Allah Ar-Razaq, Yang Maha
Memberi Rizki.
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dandari bumi?” Katakanlah: “Allah.” (QS. Saba’: 24)
Rupanya inilah
rezeki bapak penjual wedang ronde
itu, meski ditinggal sholat para pembelinya tidak lantas pergi meninggalkan
tempat dan berpindah mencari penjual yang lain. Kami, para pembelinya tetap
setia menunggu hingga bapak penjual wedang
ronde menyelesaikan sholatnya. Kata pepatah, rezeki tak akan lari ke mana...
“Mbake ngersakne pinten?,” suara bapak penjual wedang ronde itu memulai percakapan.
“Oh, nggih pak, kalih mawon bungkus nggih pak,” (Oh, Iya pak, dua saja.
Tolong dibungkus saja pak)
“Wah sekarang yang jualan wedang ronde kog tinggal dikit ya pak, Cuma
bapak saja yang mangkal di sini?”
“Enggak mbak, biasanya dua orang. Yang satu adik saya, tapi hari ini
nggak jualan.”
“Mm,, sudah lama pak jualan wedang ronde?”
“Kalau mau dijawab ya, sepertinya malu-maluin mbak,”
“Lho, lha memang kenapa pak? Apa yang bikin malu,”
“Sudah lama mbak, sudah hampir Sembilan belas tahun,”
“Wah, lama juga ya pak. Lha bapak rumahnya mana pak?”
“Saya, Weru mbak,”
“Wah, jauh ya pak. Lha terus, bapak kost?”
“Iya, kost di daerah Colomadu mbak, sama anak istri, ini sudah mbak,”
“Oh, iya pak. Dulu waktu kecil di sini banyak sekali yang jualan wedang
ronde. Tiap kali main ke bandara, pasti belinya wedang ronde. Tapi sekarang
tinggal sedikit ya pa?”
“Iya mbak, lha wong jualan di sini tu juga ditarik retribusi dan dipilih
yang bagus-bagus saja,”
“Berarti bapak termasuk yang bagus-bagus ya pak?”
“He he he, iya mbak, Alhamdulillah,”
“Iya Alhamdulillah ya pak. Mari pak, saya duluan ya?” seraya
kuanggukkan kepalaku untuk berpamitan. Lalu kuarahkan sepeda motor menuju arah
pulang. Bapak penjual wedang ronde
tersenyum ramah.
Petang ini
sepertinya aku mendapatkan sebuah pelajaran. Pelajaran bahwa ketika kita
benar-benar menjadi seorang muslim dan telah berjanji menjadi muslim maka kita
harus melaksanakannya secara sempurna. Memang tidak ada manusia sempurna di
dunia ini, yang ada adalah manusia yang senantiasa berporses untuk menuju
sebuah kesempurnaan. Senantiasa memperbaiki diri dari hari ke hari.
Dari beliau
pula aku belajar bahwa di dunia ini sudah ada jatah rizki yang Allah SWT
tetapkan untuk kita. Apakah kita mau menjemputnya atau tidak, dengan jalan yang
benar atau justru dengan menghalalkan segala cara demi mendapatkan kenikmatan
dunia yang fana ini. Yang pasti, kita diwajibkan untuk senantiasa berikhtiar
dan bertawakal kepada-Nya sehingga rizki yang kita peroleh benar-benar rizki
yang barokah. Semakin dekat kita dengan-Nya maka akan semakin Ia mudahkan jalan
rizki untuk kita.
Jika seorang
penjual wedang ronde yang sedang
berjualan di pinggir jalan saja ketika mendengar adzan ia segera sholat
meskipun di bawah pohon, lalu mengapa kita yang asyik-asyik nonton televisi
malah melewatkan jamaah maghrib di masjid? Bukankah Allah telah berjanji akan
menjamin (member makan di surga) bagi seseorang yang pergi ke masjid di waktu
pagi dan petang? Atau jangan-jangan kita malah ragu dengan janji-Nya tersebut?
Semoga tidak ya sobat… (ullin/12)
Komentar
Posting Komentar