Cerita Motivasi - Belajar dari Mereka


Penjual Wedang Ronde
 “Mereka”, siapa ‘mereka’ sebenarnya? Ya mereka ada di sekitar kita. Dan bahkan mungkin sangat dekat dengan kita, namun kita jarang menyadarinya. Dari mereka kita bisa melihat bahwa dunia ini tidak sempit, bahwa masih panjang jalan yang harus ditempuh, serta masih banyak yang harus diperjuangkan jadi sungguh sangat naïf jika harus berhenti di sini. Itulah yang seharusnya kita pegang dalam hidup ini.

Suatu sore sepulang dari mengajar les, aku sengaja memacu kencang motorku menuju salah satu tempat yang sangat terkenal di Kota Bengawan ini, Bandara Internasional Adi Soemarmo. Bukan untuk ikut nongkrong-nongkrong di pinggir jalan melihat pesawat yang tinggal landas, atau menikmati suasana petang bersama dengan teman kencan atau pacar seperti yang kebanyakan dilakukan oleh orang-orang di sekitar bandara. Melainkan dengan sengaja aku ke sana untuk membeli wedang ronde kesukaan ibuku. Sengaja aku ingin membelikan sedikit oleh-oleh untuk beliau. Karena aku sangat senang ketika melihat beliau tersenyum sepulang aku kerja. Tidak perduli karena alasan apa beliau tersenyum namun, entah karena aku atau yang lainnya, bagiku senyum itu sudah cukup. Meski tidak ada nasi, atau tidak masak sekalipun itu tidak penting. Melihat senyum beliau itu sudah membuatku puas. 


Kembali lagi ke wedang ronde, minuman khas yang sangat terkenal di sekitaran Solo dan Jogja ini memang tidak begitu populer seperti minuman-minuman lain seperti jus buah, soft drink, atau minuman dalam kemasan lainnya yang banyak digandrungi anak-anak muda. Jika dibandingkan dengan minuman kemasan saat ini pun juga kalah jauh. Dari segi penampilan, minuman ini hanya di tempatkan dalam mangkuk kecil, jika ingin meminumnya di tempat atau dibungkus plastik jika ingin dibawa pulang. Tidak berkelas, begitu orang menyebutnya mungkin. Namun, inilah minuman yang perlu dilestarikan. Khasiatnya pun juga tidak diragukan lagi selain untuk teman santai, minuman ini juga dapat menghangatkan badan. 

Aku menyusuri jalan selatan bandara agak pelan, dari timur ke barat. Lalu dari barat aku kembali lagi ke timur. Hanya satu gerobak penjual wedang ronde yang mangkal di sana. Lebih banyak penjual makanan-makanan ringan seperti cakue, somay dan sejenisnya. Ku parkir motorku di samping gerobak wedang ronde itu.
Ke mana penjualnya? Gumamku dalam hati. Aku mulai clingak-clinguk mencarinya. Bukan karena buru-buru, atau apa. Aku sudah melaksanakan sholat maghrib di tempatku mengajarles. Jadi tidak ada alas an bagiku untuk buru-buru hanya saja rasa ingin tahu terus menggelayuti pikiranku. Di dekat gerobak itu kulihat seorang pria  dan wanita paruh baya yang menikmati suasana petang ba’da maghrib sambil melihat lampu-lampu tower di kejauhan yang mulai setia menemani malam. Suami istri mungkin atau hanya teman kencan aku tak perduli. Bukan bermaksud mengganggu mereka atau iri karena mereka bercakap-cakap mesra. 

“Permisi, pak. Yang jualan ke mana ya?”
“Lagi Sholat mbak, tunggu aja dulu.”
“Mm, iya pak, makasih.”

Tanpa diaba-aba ku alihkan pandanganku ke seberang jalan. Subhanallah, andaikan semua penjual di sini seperti bapak itu. Bersujud pada-Mu di manapun berada. Karena sesungguhnya seluruh bumi-Mu adalah masjid bagi hamba-hamba-Mu Ya Rabb. Kulihat bapak penjual wedang ronde itu sedang berdoa di bawah pohon beralaskan selembar Koran dan selembar sajadah yang mungkin sengaja beliau bawa dari rumah. Kutarik nafas panjang sambil berharap. Semoga suatu hari kutemui masa yang indah yakni semua pedagang di tepi jalan ini melaksanakan sholat maghrib berjamaah ketika mendengar seruan-Nya. Aamiin…

Bapak itu melemparkan senyum ringan padaku, kubalas dengan senyuman ringan pula. Kulihat tangannya cekatan dengan segera menyiapkan dua mangkuk wedang ronde untuk sepasang pria dan wanita yang ternyata juga menunggu dibuatkan wedang ronde. Sungguh inilah salah satu tanda kuasa Allah SWT, Allah Ar-Razaq, Yang Maha Memberi Rizki.


Rupanya inilah rezeki bapak penjual wedang ronde itu, meski ditinggal sholat para pembelinya tidak lantas pergi meninggalkan tempat dan berpindah mencari penjual yang lain. Kami, para pembelinya tetap setia menunggu hingga bapak penjual wedang ronde menyelesaikan sholatnya. Kata pepatah, rezeki tak akan lari ke mana...

“Mbake ngersakne pinten?,” suara bapak penjual wedang ronde itu memulai percakapan.
“Oh, nggih pak, kalih mawon bungkus nggih pak,” (Oh, Iya pak, dua saja. Tolong dibungkus saja pak)
“Wah sekarang yang jualan wedang ronde kog tinggal dikit ya pak, Cuma bapak saja yang mangkal di sini?”
“Enggak mbak, biasanya dua orang. Yang satu adik saya, tapi hari ini nggak jualan.”
“Mm,, sudah lama pak jualan wedang ronde?”
“Kalau mau dijawab ya, sepertinya malu-maluin mbak,”
“Lho, lha memang kenapa pak? Apa yang bikin malu,”
“Sudah lama mbak, sudah hampir Sembilan belas tahun,”
“Wah, lama juga ya pak. Lha bapak rumahnya mana pak?”
“Saya, Weru mbak,”
“Wah, jauh ya pak. Lha terus, bapak kost?”
“Iya, kost di daerah Colomadu mbak, sama anak istri, ini sudah mbak,”
“Oh, iya pak. Dulu waktu kecil di sini banyak sekali yang jualan wedang ronde. Tiap kali main ke bandara, pasti belinya wedang ronde. Tapi sekarang tinggal sedikit ya pa?”
“Iya mbak, lha wong jualan di sini tu juga ditarik retribusi dan dipilih yang bagus-bagus saja,”
“Berarti bapak termasuk yang bagus-bagus ya pak?”
“He he he, iya mbak, Alhamdulillah,”
“Iya Alhamdulillah ya pak. Mari pak, saya duluan ya?” seraya kuanggukkan kepalaku untuk berpamitan. Lalu kuarahkan sepeda motor menuju arah pulang. Bapak penjual wedang ronde tersenyum ramah.

Petang ini sepertinya aku mendapatkan sebuah pelajaran. Pelajaran bahwa ketika kita benar-benar menjadi seorang muslim dan telah berjanji menjadi muslim maka kita harus melaksanakannya secara sempurna. Memang tidak ada manusia sempurna di dunia ini, yang ada adalah manusia yang senantiasa berporses untuk menuju sebuah kesempurnaan. Senantiasa memperbaiki diri dari hari ke hari. 

Dari beliau pula aku belajar bahwa di dunia ini sudah ada jatah rizki yang Allah SWT tetapkan untuk kita. Apakah kita mau menjemputnya atau tidak, dengan jalan yang benar atau justru dengan menghalalkan segala cara demi mendapatkan kenikmatan dunia yang fana ini. Yang pasti, kita diwajibkan untuk senantiasa berikhtiar dan bertawakal kepada-Nya sehingga rizki yang kita peroleh benar-benar rizki yang barokah. Semakin dekat kita dengan-Nya maka akan semakin Ia mudahkan jalan rizki untuk kita.

Jika seorang penjual wedang ronde yang sedang berjualan di pinggir jalan saja ketika mendengar adzan ia segera sholat meskipun di bawah pohon, lalu mengapa kita yang asyik-asyik nonton televisi malah melewatkan jamaah maghrib di masjid? Bukankah Allah telah berjanji akan menjamin (member makan di surga) bagi seseorang yang pergi ke masjid di waktu pagi dan petang? Atau jangan-jangan kita malah ragu dengan janji-Nya tersebut? Semoga tidak ya sobat…  (ullin/12)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jodoh Pasti Ketemu

#Danau Tengah Sawah

Membuat Piring dengan CorelDraw