Cara Tuhan Menegur
Tuhan
seakan tak pernah ingin hamba-Nya berlari terlalu jauh dan tersesat. Hari ini
Ia seakan menegurku dengan sebuah hal yang tidak asing. Sudah beberapa minggu
aku merasa hidup itu terasa memuakkan, terlalu lelah untuk dijalani. Serasa tidak
kuat lagi untuk berlari sendirian melawan arus di dunia ini,. Ingin berhenti
saja di sini, tak ingin berjalan lebih jauh. Mimpi dan cita-cita yang pernah
ditulis dengan menggebu-gebu seakan tak berarti sama sekali. Untuk apa? Untuk siapa?
Apa yang aku cari? Siapa yang ingin aku temui? Bahkan aku sempat meninggalkan
aktivitas menuntut ilmu untuk beberapa saat. Ya, seakan berada di sebuah
persimpangan jalan, namun tidak tahu arah mana yang harus diambil. Jadi, lebih
baik berhenti, mencoba menyusuri arah yang sama-sama tidak tahu ujungnya.
Hijrah
memang tidak mudah. Harus mampu meluruskan niat. Ketika niat telah berbelok dan
bengkok pun juga harus mampu meluruskannya. Secara perlahan, namun aku tak
sabar. Seperti ingin memaksakan sebuah kehendak untuk segera meluruskannya namun
ketakutan menghantui. Mungkinkah ia akan lurus kembali, atau malah akan patah. Niat
yang dulu telah terjaga, tertata, tiba-tiba patah dan mungkin akan lebih lama
lagi untuk meluruskannya.
Seakan
ingin bercerita tentang semuanya, namun hati kecil menolak untuk melakukannya. Ia
selalu berbisik “Tak perlu bercerita
hal-hal tentang keresahanmu pada mereka. Cukupkan mengadu pada yang memberimu
masalah!.” Yang benar saja? Setiap mengadu pada yang maha kuasa pun tak
pernah menemukan rasa mendalam, terfokus dan berserah. Bahkan air mata yang
biasanya mudah mengalir pun seakan tak ingin keluar. Apa yang salah? Ingin berteriak
namun semua hanya akan seperti orang yang tak punya iman.
Sempat
aku bertanya pada seorang temanku, mungkinkah ada sesuatu yang dapat membuat
aku menghilang? Entah obat atau apa. Dia hanya tersenyum. Mungkin dalam
benaknya berfikir aku sudah tidak waras. Sejenak aku baru tersadar, tak
seharusnya aku bicara seperti itu. Seperti orang yang mau mati saja. Mungkin benar
yang orang katakana. Manusia terkadang terlalu lebay dengan masalah mereka.
Sepulang
dari beraktivitas, aku mampir ke sebuah anjungan tunai. Sejenak aku
memperhatikan suasana di sekitar anjungan tunai yang kebetulan berada di
samping sebuah café terkenal. Di seberang
jalan ada seorang laki-laki paruh baya. Berjalan terseok dengan rambut tak terawat,
tangan kirinya pun tidak dapat digerakkan. Menempel di dadanya, kaki kirinya
pun tidak dapat dengan normal melangkah. Astaghfirullahal’adzim.
Seakan Tuhan berkata, “Apa yang kamu keluhkan? Apa yang membuatmu hilang
arah? Bukankah keadaanmu jauh lebih beruntung dari dia?”.
Kuhela
nafas panjang. Laki-laki itu sering aku lihat di lingkungan ini. Biasanya aku
melihat di pagi hari, namun kali ini di malam hari. Sejenak terlintas sebuah
pertanyaan. “Sudah malam begini, dia
masih terus berjalan. Lalu di mana ia akan tidur? Apakah dia memang benar-benar
tidak punya keluarga yang merawat? Ia bahkan seperti menderita sebuah penyakit
yang menyebabkan separuh tubuhnya tak dapat digerakkan secara normal. Ia
terlihat duduk-duduk di dipan depan tempat praktek salah satu dokter umum yang
cukup ternama di kotaku. Tempat praktek itu sudah tutup sejak jam delapan
malam, dan mungkin malam ini beliau akan beristirahat di sana. Di antara
bisingnya kendaraan yang berhenti menunggu lampu merah, di antara dinginnya
udara malam di usianya yang sudah tidak muda, ditemani sepi di saat kendaraan
berlalu lalang. Tiada keluarga, tiada sanak. Tiada terasa air mata yang
tertahan beberapa waktu, kini kembali mengalir.
Aku
tak seharusnya hilang arah. Bagaimanapun lelahnya itu, aku masih punya
keluarga, aku punya orangtua, aku punya ibu yang setia menanti sampai aku
pulang kembali ke rumah. Tidak peduli selelah apapun itu, beliau enggan untuk
beranjak ke kamar tidurnya sebelum suara kendaraan yang aku pakai terdengar dan
terparkir di depan rumah. Aku punya saudara yang selalu menceritakan
hari-harinya di tempatnya menuntut ilmu, bagaimana bersemangatnya dia untuk
dapat melihat mimpi-mimpinya menjadi nyata seakan ia tidak akan pernah menemui
sebuah halangan berarti, aku punya ayah yang dengan gigihnya tetap berjuang
untuk bisa melihat kami menjadi manusia yang lebih baik.
Lalu
apa yang aku takutkan? Apa yang aku ragukan? Dalam hening malam itu, jiwaku
tersadar. Jika dunia yang aku kejar, seperti itulah akhirnya, aku tidak akan
mampu menjaga niatku, aku tak akan mampu melangkah dengan tulus. Setidaknya Allah
masih memperkenankan aku belajar kembali, menggali lebih dalam untuk dapat
menjaga niat, dan lebih teguh. Masih memperkenankan aku untuk terus mengenal
siapa aku dan siapa Tuhanku. |lik|06|05|15|
Komentar
Posting Komentar